vnewsmedia.com – Kelompok Houthi menyatakan pesawat tempur Amerika Serikat (AS) dan Inggris telah mengebom Ibukota Yaman, Sana'a pada Jumat 12 Januari 2024.
Sky news Arabia melaporkan, bahwa Bandara Internasional Sana'a dibom secara besar-besaran. Serangan udara juga dilakukan terhadap sasaran di Provinsi Sana'a, Al-Hudaydah, Sa'dah dan Dhamar.
Kelompok Houthi di dekat Kota pelabuhan Hudaida di Yaman barat juga mendapat serangan hebat. Selain itu Amerika Serikat dan Inggris juga menyerang pangkalan Houti di provinsi Hajjah.
Melansir Bloomberg, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengonfirmasi bahwa pasukannya telah meluncurkan serangan udara terhadap sejumlah sasaran di Yaman.
Sejumlah Pejabat AS menyebut serangan itu mengenai Radar dan peluncu rudal di sana. Salah seorang sumber Bloomberg juga menyatakan bahwa Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak dan kabinetnya menyetujui serangan militer gabungan dengan AS terhadap Yaman.
Persetujuan muncul melalui panggilan pada Kamis 11 Januari 2024. Meskipun demikian, kantor Perdana Menteri Inggris menolak berkomentar soal gabungan kekuatan militer Itu.
Gedung Putih pun belum berkomentar mengenai hal ini kondisi ini membuat khawatir pelaku pasar terhadap harga minyak mentah yang belakangan ini merangkak naik.
Harga brand pada perdagangan Jumat 12 Januari 2024 pukul 15.14 WIB tercatat naik 1,87 poin ke US$79,28/barel untuk kontrak Februari 2024, sementara WTI naik 1,81 poin ke level US$73,83/barel untuk kontrak Februari 2024.
Berdasarkan analisis Bloomberg harga minyak dapat semakin rentan jika Iran terlibat langsung dalam konflik tersebut, karena dapat mengancam produksi dan aliran minyak di wilayah yang merupakan sumber dari sepertiga minyak mentah dunia.
Eskalasi konflik di Timur Tengah membawa kembali premi risiko perang ke pasar yang sempat luput dari perhatian, karena meningkatnya pasokan dari negara-negara non OPEC plus dan melambatnya pertumbuhan permintaan minyak.
Head of commodity strategy ING Groep NV, Warren Peterson menilai bahwa eskalasi konflik di Yaman menunjukkan potensi gangguan lebih besar, membuka kemungkinan perlunya pengalihan kapal yang dapat berdampak pada kenaikan harga minyak.
“Namun Resiko yang lebih besar adalah jika hal ini menyebar Dan kita mulai melihat ancaman terhadap arus keluar dari Teluk Persia meskipun Kami yakin risikonya rendah dampaknya akan signifikan,” ujar petersen dilansir dari Bloomberg.